Senin, 14 Maret 2011

Pengakuan seorang guru

Tadi malam aku membaca sebuah artikel dari seorang guru. Aku terkejut ketika membacanya saat itu keluar begitu saja dari hati pendidik yang menjadi panutan para siswa untuk mendapatkan ilmu. Aku rasa ini benar dari hati yang ingin memberontak sekaligus ungkapan kekecewaan terhadap pendidikan di negara yang sangat dicintai. Bagaimana tidak, ketika kata ini terlontar.
Apakah perlu selembar ijazah untuk memperoleh kehidupan yang baik?
Orang tua pasti akan menanggapi ini adalah pertanyaan gila dari seorang guru.
Kenyataan pada hari ini, banyak orang yang berijazah SMU, D1, D2, D3, S1 bahkan sebagian S2 & S3 ternyata menjadi pengangguran karena kepandaiannya ternyata tidak dapat dimanfaatkan & tidak diterima lapangan kerja sebagai orang yang ahli dibidangnya. Banyak juga yang berijazah S1, S2, S3 ternyata menggeluti bidang yang berbeda sama sekali dengan ijazah yang diperolehnya. Gilanya, ternyata banyak orang yang membeli gelar & ijazah untuk meningkatkan posisi, jabatannya di instansi / perusahaan-nya. Sialnya, banyak juga institusi & perusahaan yang terkecoh dengan ijazah & gelar hasil membeli. Apakah memang demikian maksud keberadaan sekolah & ijazah di Indonesia?

Bagaimana mungkin seorang menjadi hacker kalau di sekolah-nya masih di ajarkan dBase 4 untuk basis data, Pascal programming yang sudah ketinggalan jaman (walaupun sesuai dengan kurikulum nasional DIKNAS)? Semua praktisi tahu bahwa, pada hari ini orang lebih banyak menggunakan SQL, PHP4, socket programming, Tcl/Tk, Perl, C/C++, openssl, openssh, mod_ssl yang berjalan di atas berbagai protokol seperti IP, TCP, UDP, ICMP, IGMP, SMTP, HTTP, IMAP, POP3, RSVP, SSL, RC4, MD5, IEEE802.11 dll. – yang semuanya tidak di ajarkan secara detail di bangku sekolah maupun bangku kuliah!

Dunia pekerjaan di Indonesia (bahkan di dunia) saat ini sangat membutuhkan orang yang menguasai teknik-teknik di atas. Salah seorang bekas mahasiswa saya, Gde Raka di Bali, bahkan dengan mudah menjadi subkontraktor perusahaan software di Silicon Valley, US untuk Java programming. Gilanya, semua dilakukan dari rumah-nya di Bali, betapa nikmatnya gaji US$ dengan biaya hidup Rupiah. Penghasilan Rp. 2-3 juta / bulan sangatlah mudah untuk diperoleh, sebagian bahkan berpenghasilan Rp. 5-10 juta / bulan. Usia mereka rata-rata antara 25-30 tahun, masih muda & energik. Setahu saya ada banyak Raka-Raka Indonesia lainnya yang berkiprah secara nasional maupun internasional baik dari Indonesia maupun dari luar negeri.

Bagaimana proses belajar anak-anak muda ini? Jelas ilmu mereka dapat bukan di sekolah & bukan di kampus. Jelas tidak banyak yang bisa kita harapkan dari kurikulum nasional DIKNAS yang jauh ketinggalan jaman itu. Ilmu mereka dapat umumnya di Internet, membuka berbagai situs yang membawa berbagai pengetahuan Internet gratisan seperti http://www.linuxdoc.org, http://www.linux.or.id, http://www.internic.net, http://www.pulver.com dan masih banyak lagi. Jika men-download pengetahuan dari Internet dirasakan mahal, sebetulnya kalau anda membeli CD Linux yang harganya hanya sekitar Rp. 20-25.000 / buah itu sangat menguntungkan karena banyak sekali dokumen tentang teknologi informasi yang ada di dalamnya. Belum lagi adanya komunitas Linux yang cukup kuat di http://www.linux.or.id, bahkan memiliki majalah sendiri InfoLinux http://www.infolinux.or.id yang relatif murah dan selalu di sertai CD Linux setiap edisinya. Semua ilmu yang diperoleh dari berbagai situs di atas biasanya tidak di ajarkan di sekolah.

Melihat pendidikan negara ini terlalu membatasi penggunaan sumber bacaan. Meskipun dibilang boleh mencari referensi lain tapi tetap saja referensi sebenarnya ada pada buku paket sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Apa bedanya, tetap saja siswa diminta untuk punya buku pegangan sesuai kurikulum, ini membuat siswa hanya membaca 1 buku saja yang hanya setebal 100 hingga 200 halaman saja. Patokan yang dibuat membuat era pendidikan negara ini tidak adil, kurikulum yang ketinggalan zaman anehnya lagi bertukar-tukar ntah apa yang terasa oleh para pejabat itu dibutuhkan, dan monopoli 1 sumber bahan ajar. Terlebih para dosen yang sibuk dengan pekerjaan membuat lupa perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kebutuhan bahan ajar yang di berikan setengah-setengah karena takut kehilangan populeritas dan ilmunya dimiliki oleh siswa. Sebaliknya siswa malah banyak malah banyak belajar dari internet, mencari hal-hal terbaru dan selalu lebih cendrung ke hal yang siswa sukai. Sialnya orang lain berujar internet memberikan banyak mudarat dan malapetaka, ini merupakan suatu ajang perkambinghitaman. Bagaimana tidak anak-anak tidak mendapat pengetahuan yang cukup memaksimalkan internet, guru yang juga tidak mau tau dengan internet dan merasa malas karena merasa apa yang ia punya sudah cukup di ajarkan untuk siswanya. Sialnya ini karena sikambing hitam internet mendatangkan efek negatif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar